Lebih dari 140 orang akademisi hukum pidana dan kriminologi dari berbagai kampus di Indonesia yang tergabung dalam Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) menghadiri Seminar Hukum Nasional dan call for paper yang diselenggarakan secara bersama oleh Kompartemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FHUB), MAHUPIKI, dan Pusat Pengembangan Riset Sistem Peradilan Pidana Universitas Brawijaya (PERSADA UB). Rangkaian seminar tersebut diselenggarakan bertepatan dengan momentum Pengesahan Tingkat I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat kerja Komisi III DPR RI bersama perwakilan Pemerintah.
Ketua Umum MAHUPIKI, Dr. Yenti Garnasih yang juga merupakan salah satu anggota Tim perumus RKUHP menegaskan bahwa seminar hukum nasional ini merupakan salah satu bentuk kontribusi akademisi hukum pidana dan kriminologi dalam rangka membangun Hukum Pidana Nasional yang berkarakter humanis dan mendorong aktualisasi nilai-nilai demokrasi dan negara hukum.
“Peran penting MAHUPIKI dalam perumusan RKUHP dibuktikan dengan keterlibatan para pengurus dan anggotanya secara aktif sejak awal pembahasan RKUHP puluhan tahun lalu,” Ujar Yenti dalam sambutannya.
Ketua Tim Perumus RKUHP, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo dalam kesempatannya menegaskan dalam proses penyusunan RKUHP, telah melibatkan dan memperhatikan masukan dari berbagai pihak termasuk korektor (proofreader) yang memberikan catatan-catatan seperti yang telah dilakukan oleh salah satu korektor yang ditunjuk pemerintah, Dr. Fachrizal Afandi.
Hal ini dikonfirmasi oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Abraham Napitupulu, yang juga anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang memaparkan keterlibatan masyarakat sipil dalam perumusan RKUHP. Meski masih menuai kritik, Eras menilai telah banyak masukan dan perbaikan yang diakomodir dalam RKUHP.
“Meskipun tidak sempurna, RKUHP versi November 2022 jauh lebih baik dan jelas rumusannya daripada RKUHP versi 2019 yang belum mengakomodir masukan masyarakat sipil,” ujar Eras.
Proses pembuatan Undang-Undang (law making process) seperti ini yang dalam pemaparan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Prof. Dr. Topo Santoso digambarkan sebagai hubungan antara hukum dan demokrasi. Begitu juga dengan Prof. Dr. Supanto dan Dr. Nurini Aprilianda, masih menyampaikan paparan kritisnya terkait harmonisasi sejumlah pasal ke dalam RKUHP.
Jaksa Agung RI, Prof. Dr. Sianatiar Burhanudin yang hadir secara daring memaparkan mengenai dampak RKUHP terhadap proses penuntutan dan penerapan keadilan restoratif. Menurut Jaksa Agung, dalam RKUHP terdapat fitur tambahan bagi jaksa untuk tidak selalu melakukan penuntutan namun dapat menghentikan perkara jika telah ada penyelesaian di luar persidangan.
Artikel Terkait :