Indonesia adalah negara hukum. Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum. Secara historis, konsep negara penegakan hukum muncul dalam berbagai model, antara lain negara hukum menurut agama Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila.
Menurut Aristoteles, negara haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Dalam negara yang memerintah bukanlah manusia sebenarnya, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja.
Paham rechtstaats pada dasarnya bertumpu pada sistem hukum Eropa Kontinental, banyak dipengaruhi oleh sejarah perkembangan Eropa saat mulai sistem itu dikembangkan yaitu “absolutisme raja”. Negara harus menjadi negara hukum, itulah semboyan dan sebenarnya juga daya pendorong perkembangan pada zaman baru. Negara harus menentukan secermat-cermatnya jalan-jalan dan batas-batas kegiatannya, bagaimana lingkungan (suasana) kebebasan itu tanpa dapat ditembus. Negara harus mewujudkan atau memaksakan gagasan akhlak dari segi negara, juga secara langsung, tidak lebih jauh dari seharusnya menurut suasana hukum. Inilah pengertian negara hukum, bukannya misalnya, bahwa negara itu hanya mempertahankan tata hukum saja tanpa tujuan pemerintahan, atau hanya melindungi hak-hak dari perseorangan. Negara hukum pada umumnya tidak berarti tujuan dan isi daripada negara, melainkan hanya cara-cara dan untuk mewujudkannya.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai identitas, yaitu sebagai berikut:
- Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut yuridis;
- Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan;
- Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau doelmatigheid atau utility).
Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan perundang-undangan dibuat dan diundangkan secara pasti, karena mengatur secara jelas dan logis, maka tidak akan menimbulkan keraguan karena adanya multitafsir sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian peraturan perundang-undangan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma, atau distorsi norma. Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.
Menurut Utrecht kepastian hukum mengandung dua pengertian; pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan kedua berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu. Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan semata-mata untuk kepastian hukum.
Keadilan hukum menurut L.J Van Apeldoorn tidak boleh dipandang sama arti dengan penyamarataan, keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama. Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil bagi yang lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan di mana terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang menjadi bagiannya. Dalam pengertian lain, menurut Satjipto Rahardjo “merumuskan konsep keadilan bagaimana bisa menciptakan keadilan yang didasarkan pada nilai-nilai keseimbangan atas persamaan hak dan kewajiban.” Namun harus juga diperhatikan kesesuaian mekanisme yang digunakan oleh hukum, dengan membuat dan mengeluarkan peraturan hukum dan kemudian menerapkan sanksi terhadap para anggota masyarakat berdasarkan peraturan yang telah dibuat itu, perbuatan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan yaitu substantif. Namun juga harus dikeluarkan peraturan yang mengatur tata cara dan tata tertib untuk melaksanakan peraturan substantif tersebut yaitu bersifat prosedural, misalnya hukum perdata (substantif) berpasangan dengan penegakan hukum acara perdata (prosedural). Dalam mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M. Wantu mengatakan, “adil pada hakikatnya menempatkan sesuatu pada tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama kedudukannya di muka hukum (equality before the law).”
Kemanfaatan hukum adalah asas yang menyertai asas keadilan dan kepastian hukum. Dalam melaksanakan asas kepastian hukum dan asas keadilan, seyogyanya dipertimbangkan asas kemanfaatan. Contoh konkret misalnya, dalam menerapkan ancaman pidana mati kepada seseorang yang telah melakukan pembunuhan, dapat mempertimbangkan kemanfaatan penjatuhan hukuman kepada terdakwa sendiri dan masyarakat. Kalau hukuman mati dianggap lebih bermanfaat bagi masyarakat, hukuman mati itulah yang dijatuhkan. Hukum adalah sejumlah rumusan pengetahuan yang ditetapkan untuk mengatur lalulintas perilaku manusia dapat berjalan lancar, tidak saling tubruk dan berkeadilan. Sebagaimana lazimnya pengetahuan, hukum tidak lahir di ruang hampa. Ia lahir berpijak pada arus komunikasi manusia untuk mengantisipasi ataupun menjadi solusi atas terjadinya kemampatan yang disebabkan oleh potensi-potensi negatif yang ada pada manusia. Sebenarnya hukum itu untuk ditaati. Bagaimanapun juga, tujuan penetapan hukum adalah untuk menciptakan keadilan. Oleh karena itu, hukum harus ditaati walaupun jelek dan tidak adil. Hukum bisa saja salah, tetapi sepanjang masih berlaku, hukum itu seharusnya diperhatikan dan dipatuhi. Kita tidak bisa membuat hukum ‘yang dianggap tidak adil’. Itu menjadi lebih baik dengan merusak hukum itu. Semua pelanggaran terhadap hukum itu menjatuhkan penghormatan pada hukum dan aturan itu sendiri. Kemanfaatan hukum perlu diperhatikan karena semua orang mengharapkan adanya manfaat dalam pelaksanaan penegakan hukum. Jangan sampai penegakan hukum justru menimbulkan keresahan masyarakat. Karena kalau kita berbicara tentang hukum kita cenderung hanya melihat pada peraturan perundang-undangan, yang terkadang aturan itu tidak sempurna adanya dan tidak aspiratif dengan kehidupan masyarakat. Sesuai dengan prinsip tersebut di atas, saya sangat tertarik membaca pernyataan Prof. Satjipto Raharjo, yang menyatakan bahwa : keadilan memang salah satu nilai utama, tetapi tetap di samping yang lain-lain, seperti kemanfaatan. Jadi dalam penegakan hukum, perbandingan antara manfaat dengan pengorbanan harus proporsional.
Sementara itu, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batu bara sebagai kekayaan alam yang terkandung dl dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan agar memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan. Menurut Prof.DR. Ibr. Supancana, SH., MH. penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi dari pemilikan secara konsepsi hukum perdata. Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam pendapatnya sebagai berikut: Bahwa dengan memandang UUD 1945 sebagai sebuah sistem sebagaimana dimaksud, maka penguasaan oleh negara dalam Pasal 33 UUD 1945 memiliki pengertian yang lebih tinggi atau lebih luas daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan oleh negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat yang dianut dalam UUD 1945, baik di bidang politik (demokrasi politik) maupun ekonomi (demokrasi ekonomi). Dalam paham kedaulatan rakyat itu, rakyatlah yang diakui sebagai sumber, pemilik, dan sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam kehidupan bernegara, sesuai dengan doktrin “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”. Dalam pengertian kekuasaan tertinggi tersebut tercakup pula pengertian pemilikan publik oleh rakyat secara kolektif. Bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalam wilayah hukum negara pada hakikatnya adalah milik publik seluruh rakyat secara kolektif yang dimandatkan kepada negara untuk menguasainya guna dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran bersama. Karena itu, Pasal 33 ayat (3) menentukan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Artikel Terkait :